Juwono Sudarsono
  • Home
  • Biography
  • Juwono Sudarsono Care & Support Center

Posts from the “Nation” Category

Makna Bela Negara

Posted on December 23, 2014

Menjelang pertengahan 1946 setahun setelah 17 Agustus 1945, pemerintah RI pimpinan Sukarno Hatta terpaksa hijrah ke Yogyakarta akibat situasi keamanan yang tak menentu. Jakarta dan sekitarnya dikuasai tentara sekutu yg dipimpin Inggris, serta sebagian tentara Belanda dan Australia yg dipimpin komando Asia Tenggara pimpinan Lord Mountbatten. Sebagian pulau Jawa mulai diduduki tentaraSekutu (InggrisAmerika Australia) setelah balatentara Jepang berangsur ditarik mundur selepas Jepang menyerah kepada Amerika pimpinan Jend Macarthur tgl 15 Agustus di Teluk Tokyo.

Bekitar 3 tahun setelah 17 Agustus 1945, pemerintah Sukarno-Hatta menghadapi tantangan a.l. Perundingan RI-Belanda diatas kapal perang AS “US Renville” 1947-48, pemberontakan Partai Komunis Indonesia 18 September. Pemerintah Belanda bersiap-siap merebut RI yg berkedudukan di Yogyakarta.
Melihat gelagat Belanda itu, Sukarno Hatta menyiapkan sebuah pemerintah darurat RI apabila ibukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda

Tanggal 19 Desember 1948 atas mandat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta kepada Menteri Kemakmuran Sjafrudin Prawiranegara yang tengah bertugas di Sumatra Barat telah terjadi pemberian wewenang politik untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI ) .
Mandat Sukarno-Hatta dikirim radiogram/kawat pada tgl 18 Desember 1948 petang, beberapa jam sebelum pasukan payung Belanda menduduki lapangan terbang Maguwo dan menguasai kota Yogyakarta pagi hari 19 Desember.

pahlawan

Karena kawat dari Yogyakarta terhambat faktor teknis, mandat Sukarno-Hatta baru diterima da dibahas dalam oleh persidangan awal PDRI di Bukittinggi tgl 23 Desember 1948 pimpinan Sjafruddin Prawiranegara dan Sutan Moh Rasjid. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad dan sejumlah tokoh sipil ditawan militer Belanda untuk diasingkan ke pulau Bangka. Di pulau Jawa, Pemerintah Darurat Republik Indonesia mendapat dukungan Panglima Besar Letnan Jendral Sudirman, kepala tentara territorium Jawa kolonel Abdul Harris Nasution dan kepala tentara territorium Sumatra kol Hidayat Martaatmadja.

Beberapa anggota masyarakat di sekitar Bukittinggi,Yogya dan Jawa Timur ikut berunjuk rasa mendukung PDRI. Perwakilan RI di New Delhi, Kairo dan Markas PBB di Lake Success, New York, giat menyebarkan berita dan bahwa fakta bahwa Republik Indonesia masih hidup secara defacto. Diplomasi dan perlawanan bersenjata dilaksanakan seperti segera setelah Proklamaisi 17 Aguustus 1945. Geriya revolusi memompa semangat juang pemuda pelajar, mahasiswa, pegawai negeri di Yogya, Jawa Timur dan siswa/mahasiswa di Malang, Surabaya dan Jawa Tengah.

Mereka semua, pemimpin politik dan militer,adalah perintis gagasan Bela Negara sesuai dengan paham “pertahanan rakyat semesta ” yang dianut oleh seluruh bangsa sejak Proklamari. Paham kejuangan ini berlanjut yang pada tahun 1948-1950 dikalangan pemuda, pelajar, mahasiswa, pemuka agama/ tokoh adat. Tentara Pelajar di Jakarta, Yogyakarta, Bandung dan Surabaya mengangkat senjata sambil menuntut ilmu.

Gerilya revolusi menjadi semangat juang dikalangan pemuda. Adnan Kapau Gani, Ferdinand Lumbang Tobing, letkol Askari letkol Kawilarang, I. J. Kasimo, K H Masjkur, Teuku Muh Hassan ádalah sebagian tokoh didalam negeri. Diluar negeri dr Sudarsono di New Delhi, H.M Rasjidi di Kairo dan di L.N. Palar di New York melaksanakan diplomasi perjuangan sebagai bagian dari membela Republik Indonesia. PDRI adalah lambang semangat juangn dalam keadaan darurat. PDRI tidak bertahan lama, hanya 207 hari sampai Juli 1949, saat mandat PDRI diserahkan kembali ke Republik Indonesia pimpinan Mon Hatta yg ketika itu memimpin sebagai perdana menteri merangkap Wakil Presiden.

Bela Negara dalam era globalisasi ini sekarang ini ditentukan oleh generasi kelahiran 1978 keatas yang bekiprah di segala bidang pertarungan global pada kurun waktu 2015-2045, menjelang 100 tahun Repubik Indonesia. Dalam sarasehan tentang ” Peran PDRI dalam perjuangan Republik Indonesia” di Bukittinggi tahun 2007 Menko Polhukam Widodo AS menegaskan “Semua pelaku sejarah PDRI di dalam dan luar negeri , sipil dan militer, telah melaksanakan tugas dengan berani, baik dan benar.” Pada tahun 2008 Dewan Tanda Gelar dan Tanda Jasa megangkat Sjafruddin Prawiranegara dan Mohmad Natsir, tokoh PDRI sebagai Pahlawan Nasional.

Bela Negara kini di disebarluaskan oleh Kementerian Pertahanan dengan dukungan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan Dasar Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset, Kementerian Pemuda Olahraga dan Kementerian Pemberdayaan Apparatur Negara dan Refomasi Birokrasi.
Mereka bertekad bertekad untuk:Bela Tanah Air, bela Budaya dan Adat, bela Sains dan Teknologi, bela Lingkungan Hidup dan Kekayaan Hayati, bela kemahiran Indonesia dalam Finansial Global, bela dalam menjalankan Perang Otak dan Perang Maya. Dan yang paling penting untuk kelangsungan bangsa da negara: seluruh pemuda Angkatan 1998, Angkatan 2008, bertekad untuk membela Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Categories: Nation

1 Comment

The Quality of Humility

Posted on June 23, 2013

The Canadian author-historian, Margaret Macmillan, who wrote the seminal work “Paris 1919” on the 6-month long international conference in Versailles at the end of World War I, wrote of a Vietnamese kitchen assistant working at the Ritz Hotel in Paris who unsuccessfully sought to have his country recognized by the great powers among the swirling hustle of the major powers, including France, Britain and the emergent United States. The kitchen assistant, a gangly, thin but determined 28 year old, was Ho Chi Minh, who in September 1945, declared Vietnam independent following the surrender of Japanese forces to the US at Tokyo Bay.

Later, in the 1950s, as French colonial forces sought to regain control over Indo-China, Ho Chi Minh and his “rag tag of black pajama and sandals” guerillas defeated the pride of French intellectual, bureaucratic and military elite at the garrison of Dien Bien Phu in May 1954, Ho Chi Min, aided by the military legend, Vo Nguyen Giap, rose to world wide political and military fame. Ho Chi Minh participated in the April 1955 Asian African Conference in Bandung, Indonesia, along with Jawarhalal Nehru (India), Zhou Enlai (China) Gamal Abdel Nasser (Egypt), Kwame Nkrumah (Ghana), and Sukarno (Indonesia).

ho chi minh & soekarno

In the early 1960s, Ho Chi Minh visited Indonesia and was conferred an honorary doctorate at Bandung. Ho Chi Minh spoke of the most important education he received was not from schools, colleges or universities but from “The School of Life” which tested his determination, resilience and moral strength. Indonesian president Sukarno, who attended the ceremony later spoke to students in Jakarta, which I attended as a second year student at the University of Indonesia. Sukarno spoke warmly about “this simple and humble man who never graduated from college or university” but possessed the determined quality of humanity that conquered the nation whose sin was to remind France to live up to its own commitment to Liberte, Egalite, Fraternite”. I have never forgotten that image of both Ho Chi Minh and Sukarno at that very moving moment of first generation leaders of Vietnam and Indonesia who wrested power rather than being granted independence by a stubborn yet receding colonial power.

I have often wondered how third and fourth generation Vietnamese, Indonesian,
and indeed African and Latin American, European and American leaders view the historical spectrum facing each country’s current predicament? Can they recapture the spirit that once moved their forbears into bring out the best of their intellectual courage and moral fibre to the fore? Can and will they reinvigorate the quality of public service in their personal, social and professional conduct as leaders? Can they withstand the forces of predatory financial power that erodes their determination to maintain political and cultural space that underlies the power of humility? Will they heed John F Kennedy’s call in his inaugural address more than 50 years ago that “those who do not allow peaceful revolution possible will make violent revolution inevitable?”

Categories: International, Nation

4 Comments

Konsolidasi Demokrasi Indonesia

Posted on December 29, 2010

Setiap akhir tahun berbagai kalangan di dunia menerbitkan survei kemajuan demokrasi di beberapa negara maju maupun negara berkembang.

Masing-masing survei membuat kajian berdasarkan selera ukuran dan indikator masing-masing.Ada yang mengedepankan “keterbukaan politik” seperti kemerdekaan pers, kebebasan berserikat, penghormatan pada golongan minoritas (suku, agama, dan ras). Ada juga yang mendasarkan pada besaran “golongan menengah” masingmasing negara. Survei bisnis dan ekonomi umumnya mengacu pada kemampuan pengelolaan utang publik maupun utang swasta serta kemampuan pengendalian fiskal negara.

Indonesia telah lama disebut sebagai “negara demokrasi terbesar ketiga”, setelah India dan Amerika Serikat, sedikitnya menurut hasil Bali Democracy Forum yang diselenggarakan 9-10 Desember 2010.Namun,beberapa kalangan mempertanyakan tolok ukur yang dipakai untuk pemeringkatan seperti itu.

Terutama kalangan aktivis yang menekankan pentingnya demokrasi ekonomi,sosial,dan budaya sebagai sandaran matra demokrasi dalam arti luas. Karena tolok ukur yang berbeda, muncul berbagai interpretasi tentang makna keberhasilan demokrasi di negara-negara seperti India, China,Brasil,dan Indonesia.

Kalau ditinjau dari tolok ukur hak asasi manusia (HAM) dalam lima matra yang utuh (kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), tidak ada negara maju maupun berkembang yang sempurna menjalankan demokrasi. Di India dan China, misalnya, yang masing-masing berpenduduk 1,1 dan 1,3 miliar manusia,hanya 300-350 juta orang yang memenuhi tolok ukur HAM secara utuh.

Jumlah orang India yang mampu secara ekonomi dan sosial menikmati “demokrasi ” hanyalah 300 juta yang menduduki “kelas menengah” India dengan pendapatan per kapita antara USD3.000-6.000 per tahun. Selebihnya, sekitar 700 juta manusia, belum terjangkau hak ekonomi, sosial, dan budaya.

India pemeringkat pertama demokrasi dunia kalau diukur hanya dari 2 matra HAM,yaitu kebebasan sipil dan kebebasan politik.Dari segi hak ekonomi, sosial, dan budaya, lebih dari 700 orang India terjerat dalam kenistaan yang menyedihkan.Demokrasi “gaya Westminster” tidak bersendikan keadilan dan kewajaran sosial, ekonomi, dan budaya.

“Kelas menengah” di China juga hanya berkisar 300- 350 juta orang yang sudah menikmati “kenaikan kelas” ekonomi selama 30 tahun kemajuan pesat China sejak 1979. Tetapi, rakyat China yang di pedalaman dan hidup jauh dari pusat-pusat ekonomi China di sepanjang kota-kota pantai selatan masih bergelut dengan perusakan lingkungan, penurunan kesehatan,dan kemiskinan yang amat mencengkam. Mukjizat“Konsensus Beijing” tidak bersendikan lima matra HAM yang utuh.

Mukjizat Brasil yang kerap dipuja- puja kalangan media negara maju juga tidak kalah memprihatinkan. Ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin,antara kota industri dan hutan di pedalaman, pembunuhan terhadap kaum miskin kota.

Di sejumlah negara Eropa Barat sekarang sedang dikaji sampai di mana demokrasi Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia bisa luput dari menjeratnya utang negara yang dialami Yunani, Spanyol, dan Irlandia.Pengelolaan uang negara jadi ukuran penting demokrasi yang sejati karena jaminan sosial ekonomi dari negara terancam beban pengetatan fiskal.

Di Amerika Serikat (AS), jawara demokrasi negara paling kaya di dunia,utang negaranya bahkan sudah mencapai 66% dari pendapat domestik bruto. Dana talangan pemerintah sebesar USD850 miliar lebih dipakai dan dinikmati oleh 13 bank swasta terbesar yang asetnya mencapai USD10,5 triliun.

AS mungkin demokrasi politik kedua terbesar di dunia; tetapi AS adalah suatu oligarki perbankan/keuangan di Wall Street, yang juga menguasai komisi-komisi ekonomi dan keuangan di DPR dan Senat AS. Reformasi layanan kesehatan untuk 30 juta orang AS tersendat oleh DPR dan Senat Amerika yang dikuasai lobi-lobi industri obat dan kesehatan yang amat kuat.

Terlepas dari debat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mancanegara, bagaimana demokrasi Indonesia? Jika ditinjau dari segi lima matra HAM secara utuh (sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya), potret demokrasi Indonesia tidak terlalu jelek, tetapi juga belum terlalu bagus. Dari 237 juta orang Indonesia, hanya sekitar 45- 50 juta “kelas menengah Indonesia” yang hidup layak dalam arti memiliki hunian layak untuk manusia, akses pada layanan publik yang memadai, cukup sandang pangan, serta terjangkau listrik dan air minum.Kelas
menengah Indonesia ini pendapatannya sekitar USD3.000- 7.500 setahun. Umumnya orang profesional atau semiprofesional di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya,Medan,Makassar, Semarang,Palembang, dan sebagian kota madya yang memiliki infrastruktur yang memadai).

Dalam pertemuan Kabinet Indonesia Bersatu II dan para gubernur se-Indonesia pada April 2010, Presiden SBY menekankan pentingnya kebangkitan kelas menengah Indonesia untuk ”memajukan kualitas demokrasi Indonesia.” Kelas menengah Indonesia ini adalah andalan memajukan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara utuh dan tak terpisahkan. Mereka kini diandalkan sebagai motor penggerak Indonesia yang lebih adil dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke.

Kelas menengah yang 45-50 juta inilah yang menjadi sasaran bidik industri media massa hiburan, televisi,dan aneka ragam “talkshow”. Mereka orang-orang mapan yang naik ke dunia gemerlap “di atas garis kenikmatan”.

Mereka harus diingatkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia ke bawah dengan mengurangi ketimpangan ekonomi,menutup celah sosial dan budaya yang masih mencengkam lebih dari separuh penduduk Indonesia, termasuk 57 juta kelompok usia 15-35 tahun yang rentan kerawanan sosial politik. Kelas menengah Indonesia ini harus menghindar diri dari “perangkap negara menengah” di mana anggota masyarakat yang telah naik ke kelas menengah menjadi puas diri dan tidak peduli pada mereka yang masih tertinggal.

Dan kelas menengah Indonesia harus berlomba untuk lebih baik daripada kelas menengah India,China,Brasil,bahkan kelas menengah AS sekalipun. Jika berhasil, barulah kita pantas menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang berkualitas.

Categories: Development, Nation

6 Comments

« Older entries   

About

The official website/blog of Juwono Sudarsono. Emeritus Professor, International Relations. University of Indonesia.

HOTLINE:
08161833443
Facebook.com/profjuwono

Categories

  • Defense
  • Development
  • Family
  • International
  • Nation

Return to top

© Copyright 2021

Bhinneka Tunggal Ika